Senin, 13 April 2009

Prinsip Dasar Evaluasi Pasca Pelatihan

Konsep Dasar

Secara umum evaluasi adalah suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program. Dalam konteks evaluasi di lingkungan diklat, terdapat tiga istilah yang memiliki arti berbeda karena tingkat penggunaan yang berbeda, yaitu istilah pengukuran (measurement), penilaian (evaluation) dan pengambilan keputusan (decision making). Ketiga istilah ini berkaitan erat dan merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam evaluasi dalam dunia kediklatan.

Pengukuran adalah suatu prosedur untuk mendapatkan informasi atau data secara kuantitatif, dengan pemberian angka kepada suatu sifat atau karakteristik tertentu kepada seseorang berdasarkan aturan tertentu. Hasil pengukuran berupa data kuantitatif dalam bentuk angka-angka (skor). Oleh karena itu, dalam pengukuran dibutuhkan adanya alat ukur (instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkan data. Sifat dari pengukuran adalah obyektif. Pengukuran tidak membuahkan nilai atau baik buruknya sesuatu, tetapi hasil pengukuran dapat dipakai untuk penilaian atau evaluasi.

Penilaian adalah kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program telah berhasil dan efisien. Penilaian bersifat kualitatif untuk menentukan apakah sesuatu (seseorang) tergolong kategori baik atau kurang, tepat atau tidak tepat, dan kualitas lainnya. Penilaian pada dasarnya adalah pemberian pertimbangan (judgement) terhadap skor atau angka-angka yang diperoleh melalui pengukuran. Dengan demikian dalam pertimbangan memuat faktor-faktor yang bersifat subyektif dalam kadar tertentu (relatif).

Pengambilan keputusan (kebijakan) adalah tindakan yang diambil oleh seseorang atau lembaga berdasarkan data (informasi) yang telah diperoleh dengan memasukkan berbagai pertimbangan.

Dari pengertian tersebut, jelas terlihat adanya tingkatan yang berbeda. Pengukuran tidak membuahkan nilai atau baik buruknya sesuatu, tetapi hasil pengukuran dapat dipakai untuk membuat penilaian. Penilaian memerlukan data yang baik mutunya dan salah satu sumbernya adalah hasil pengukuran. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa penilaian tetap dilakukan meskipun tanpa didahului oleh pengkuran. Demikian pula halnya dengan pengambilan keputusan. Keputusan yang baik memerlukan hasil penilaian yang baik.

Dalam perspektif critical event models, evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh tahapan siklus diklat. Pada konteks ini evaluasi dilakukan terhadap setiap tahapan mulai dari analisis kebutuhan diklat, pelaksanaan diklat sampai dengan setelah selesai pelaksanaan atau pasca diklat.


Ruang Lingkup

Perkembangan konsep evaluasi yang ada pada saat ini menunjukkan arah yang lebih luas. Konsep tersebut pada umumnya berkisar pada pandangan sebagai berikut :

1. Evaluasi tidak hanya diarahkan kepada tujuan diklat yang ditetapkan, tetapi juga terhadap tujuan-tujuan yang tersembunyi, termasuk efek yang mungkin timbul

2. Evaluasi tidak hanya melalui pengukuran perilaku peserta diklat, tetapi juga melakukan pengkajian terhadap komponen-komponen diklat, baik masukkan – proses – keluaran

3. Evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, tetapi juga untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan tersebut penting bagi peserta diklat dan bagaimana peserta mencapainya

4. Mengingat luasnya tujuan dan obyek evaluasi, maka alat yang digunakan dalam pengukuran sangat beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada tes, tetapi juga yang bukan tes


Model Evaluasi

Secara normatif program pelatihan dan pengembangan (training and development) sebagai bagian integral dari proses pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi penting dan strategis dalam mendukung visi dan misi organisasi. Untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pelatihan, maka diperlukan suatu fungsi kontrol yang dikenal dengan evaluasi. Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan kinerja SDM.

1. Model CIPP

Model CIPP dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam's merupakan model untuk menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, jadi tujuan evaluasi ini adalah untuk membuat keputusan. Komponen model evaluasi ini adalah konteks, input, proses dan produk. Komponen dalam model evaluasi ini sebagai berikut :

Context (konteks) berfokus pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang yang melayani pembuatan keputusan dari perencanaan program yang sedang berjalan, berupa diagnostik yakni menemukan kesenjangan antara tujuan dengan dampak yang tercapai.

Input (masukkan) berfokus pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi disain dan cost-benefit dari rancangan yang melayani pembuatan keputusan tentang perumusan tujuan-tujuan operasional.

Process (proses) memiliki fokus lain, yaitu menyediakan informasi untuk membuat keputusan day to day decision making untuk melaksanakan program, mambuat catatan atau “record”, atau merekam pelaksanaan program dan mendeteksi atau pun meramalkan pelaksanaan program.

Product (produk) berfokus pada mengukur pencapain tujuan selama proses dan pada akhir program.

2. Model Empat Level

Merupakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Donald L. Kirkpatrick dengan menggunakan empat level dalam membuat kategori hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi (reactions), pembelajaran (learning), perilaku (behavior) dan hasil (results). Keempat level dapat dirinci sebagai berikut :

Level 1 : Reactions

Tahap evaluasi pertama yang dilakukan segera setelah pelatihan selesai diberikan. Umumnya ditujukan untuk mengukur tingkat kepuasan peserta terhadap pelaksanaan pelatihan. Paling sederhana dan mudah dilakukan dengan menggunakan check list. Beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah :

· Isi pelatihan : seberapa jauh isi pelatihan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, baik dari segi keragaman maupun kedalaman topik yang dibahas.

· Kualitas materi : seberapa baik kualitas materi yang dibagikan, presentasi audio dan visual yang disajikan, dan peralatan lain yang digunakan selama pelatihan. Kualitas materi yang baik menimbulkan kesan bahwa peserta mengikuti pelatihan yang bergengsi dan bukan pelatihan “asal-asalan” saja.

· Metode pelatihan : seberapa sesuai metode pelatihan yang digunakan dengan topik yang dibahas. Contoh, pelatihan security untuk para satpam harusnya lebih banyak dilakukan dalam metode simulasi, role play, outbound dan games dibanding ceramah/kuliah.

· Logistik : seberapa layak akomodasi dan konsumsi yang diberikan serta fasilitas pelatihan lainnya. Walaupun kelihatan sepele, akomodasi dan konsumsi dapat mempengaruhi konsentrasi.

· Instruktur/fasilitator : seberapa fasih mereka memberikan pelatihan. Hal ini bergantung dari kedalaman pemahamannya terhadap materi pelatihan, kemampuan melakukan presentasi materi dan kemampuan mengelola situasi selama pelatihan.

Level 2 : Learning

Tahap evaluasi ini pun relatif mudah dilakukan. Biasanya pada jam terakhir pelatihan. Tujuannya mengukur tingkat pemahaman peserta atas materi pelatihan. Jika seorang peserta pelatihan tidak dapat memahami materi pelatihan, bagaimana mungkin ia dapat mengaplikasikan perubahan dalam kinerjanya? Beberapa metode di antaranya memberikan tes tertulis atau studi kasus pada peserta pelatihan. Simulasi pun dapat dilakukan, misalnya role play, in-basket atau teknik lainnya. Paling sederhana adalah meminta peserta melakukan refleksi atau presentasi berupa rangkuman atas apa yang telah dipelajarinya.

Level 3 : Behavior / Application

Tahap evaluasi ini ditujukan untuk mengukur implementasi peserta pelatihan di pekerjaan sehari-hari. Informasi yang dibutuhkan adalah :

· Tugas yang dikerjakan : proyek atau kegiatan rutin yang dilakukan sebagai bukti konkrit dari implementasi peningkatan kemampuan peserta setelah mengikuti pelatihan. Contohnya, peserta yang telah mengikuti pelatihan negosiasi dapat menyebutkan proyek tender yang berhasil dimenangkannya.

· Tim yang terlibat : pihak-pihak yang mendukung kesuksesan dari tugas tersebut. Informasi ini perlu diketahui untuk menilai seberapa besar peran peserta dalam kesuksesan tersebut.

· Waktu penerapan : kapan dan berapa lama implementasi tersebut dilakukan. Jika peserta terlibat dalam proyek, maka ada batasan waktu tertentu. Berbeda dengan pengerjaan tugas rutin.

Jika implementasi tidak sesuai dengan harapan, analisis lebih lanjut perlu dilakukan. Misalnya, adakah kesempatan bagi peserta untuk melakukan implementasi ? Faktor apa saja yang mendukung implementasi terjadi ? Lalu faktor apa yang menghambat dan perlu diatasi ? Faktor yang mendukung di antaranya adalah infrastruktur yang memadai, atasan yang terbuka, tim kerja yang solid, dll. Sementara faktor yang menghambat adalah waktu yang sempit, dana yang terbatas, resistensi terhadap perubahan, dll. Jangan sampai ditemukan kemalasan peserta sendiri sebagai faktor penghambat.


Level 4 : Results / Impact

Tahap ini ditujukan untuk mengukur dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Data historis (awal) harus tersedia untuk melakukan evaluasi tahap ini. Beberapa aspek yang diukur antara lain :

· Tangible, mencakup : (1) hasil kerja, seperti produktivitas, frekuensi, kecepatan, keuntungan, % penyelesaian, (2) kualitas seperti deviasi, kecelakaan, komplain, produk gagal, (3) biaya, seperti biaya operasional, pengeluaran mendadak, (4) waktu, seperti efisiensi, lembur.

· Intangible, mencakup : (1) kebiasaan kerja, seperti absensi, kelalaian, tepat waktu, (2) iklim kerja, seperti komitmen, pengunduran diri, kerja sama, (3) keterampilan, seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi, (4) kepuasan, seperti kepuasan kerja, kepuasan pelanggan, (5) inisiatif, seperti saran, penetapan tujuan, rencana strategis.


3. Model ROI (Return On Investment)

Model ROI yang dikembangkan oleh Jack Phillips merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi. Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan. Hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi peserta maupun bagi lembaga.

Model evaluasi ini merupakan tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROI (level 5), pada level ini ingin melihat keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost-Benefit-nya, sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.

Tahap ROI paling sulit dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi nilai balik modal dari pelaksanaan pelatihan. Dibutuhkan waktu, biaya dan analisis data yang akurat untuk keberhasilan evaluasi ini. Salah satu cara adalah mengisolasi pengaruh pelatihan, ada tiga strategi yang dengan mudah diperhitungkan yaitu :

(1) Perbandingan antara kelompok peserta dan kelompok bukan peserta. Kinerja antara kelompok peserta pelatihan dapat diperbandingkan dengan kelompok lain yang setara dan belum mendapatkan pelatihan. Contohnya, cara menjawab telepon yang masuk dari kelompok resepsionis peserta pelatihan Sopan Santun Bertelepon dibandingkan dengan kelompok yang belum mendapatkan pelatihan. Secara kualitatif, cara menjawab yang lebih baik dapat disimpulkan disebabkan oleh pelatihan tersebut.

(2) Perbandingan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Kinerja antara sebelum dan sesudah pelatihan dari kelompok yang sama diperbandingkan. Contohnya, penjualan retail sebelum pelatihan direct selling dibandingkan dengan penjualan setelah pelatihan. Tentu saja analisis yang dilakukan juga perlu memperhatikan tren kenaikan atau penurunan tanpa adanya pelatihan.

(3) Estimasi peserta terhadap presentase pengaruh pelatihan. Inilah perhitungan yang paling mudah dilakukan. Peserta pelatihan diminta untuk mengungkapkan berapa persentase pengaruh pelatihan terhadap perbaikan kinerjanya. Contohnya, peserta pelatihan Interconnecting Network Device melaporkan bahwa 70% keberhasilan mengerjakan proyek Wireless Connection disebabkan oleh aplikasi pelatihan. Sisanya, 30% lainnya oleh faktor-faktor lain, seperti proses belajar sendiri, umpan balik atasan, dll.


Tahapan Evaluasi

Langkah 1 : Persiapan Evaluasi

Pada langkah ini terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi yaitu : menentukan tujuan atau maksud evaluasi, merumuskan informasi yang akan dicari atau memfokuskan evaluasi dan menentukan cara pengumpulan data.

Beberapa kriteria yang digunakan dalam merumuskan tujuan evaluasi adalah : (1) kejelasan, (2) keterukuran, (3) kegunaan dan kemanfaatan, (4) relevansi dan kesesuaian atau compatibility. Jadi tujuan evaluasi harus jelas, terukur, berguna, relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan program diklat.

Dalam merumuskan informasi atau memfokuskan evaluasi harus berdasarkan kepada tujuan evaluasi. Terdapat beberapa metode dalam merumuskan pertanyaan evaluasi yaitu : (1) menganalisis objek, (2) menggunakan kerangka teoritis, (3) memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari luar, (4) berinteraksi dengan audien kunci.

Menentukan cara pengumpulan data, misalnya survei atau yang lain, ditentukan pula pendekatan dalam pengumpulan data. Terdapat beberapa prosedur pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif, misalnya observasi, tes, survei atau lainnya.

Langkah 2 : Mengembangkan Instrumen

Setelah metode pengumpulan data ditentukan, selanjutnya ditentukan pula bentuk instrumen yang akan digunakan serta kepada siapa instrumen tersebut ditujukan (respondennya). Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut : (1) validitas adalah keabsahan instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur, (2) reliabilitas adalah ketetapan hasil yang diperoleh, misalnya bila melakukan pengukuran dengan orang yang sama dalam waktu yang berlainan atau orang yang lain dalam waktu yang sama, (3) objektivitas adalah upaya penerjemahan hasil pengukuran dalam bilangan atau pemberian skor tidak terpengaruh oleh siapa yang melakukan, (4) standarisasi untuk memastikan evaluator mempunyai persepsi yang sama dalam mengukur karena adanya petunjuk khusus pengisian data, (5) relevansi adalah kepatuhan untuk mengembangkan berbagai pertanyaan agar sesuai dengan maksud instrumen, (6) mudah digunakan.

Langkah 3 : Mengumpulkan Data

Dalam melakukan pengumpulan data ini dilakukan dengan berbeda-beda pada masing-masing level. Pada level reaksi data yangg dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survei. Kemudian pada level pembelajaran data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan tes. Selanjutnya pada level perilaku, data yang dikumpulkan melalui observasi atau dapat juga dengan rencana aksi (action plan), yaitu rencana tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peserta pelatihan dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diikuti. Dalam hal ini para peserta harus mempunyai suatu sasaran peningkatan kinerja/kompetensi yang bersangkutan dalam unit kerja masing-masing yang kemudian diukur dengan mengunakan patokan kinerja/kompetensi yang bersangkutan. Kemudian yang terakhir, yaitu pada level hasil atau dampak, pada data yang dikumpulkan dapat melalui atasan, peserta pelatihan, bawahan atau rekan kerja (client).

Langkah 4 : Mengolah dan Menganalisis Data

Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka langkah berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Dalam menganalisis data dan menafsirkannya (menginterpretasikan) harus berdasarkan hasil data yang telah berhasil didapatkan. Kemudian menyajikannya dalam bentuk yang mudah dipahami dan komunikatif.

Langkah 5 : Menyusun Laporan

Melaporkan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi pelatihan. Laporan disusun dengan format yang telah disepakati oleh tim. Langkah terakhir evaluasi ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya evaluasi. Langkah-langkah tersebut dapat dengan digunakan untuk menjawab sejauh mana evaluasi pelatihan yang akan dilakukan dan bagaimana pelaksanaan proses pelatihan dari awal hingga akhir sehingga memberikan hasil untuk improvisasi pada pelatihan-pelatihan selanjutnya.


Penutup

Pelatihan sudah memang seharusnya tidak terlepas dari program peningkatan kinerja. Bahkan, organisasi berkelas seperti Microsoft, Virgin Group dan Sampoerna mampu mengkaitkan program pelatihan dengan banyak hal seperti diversifikasi produk, inovasi produk, perbaikan kualitas hingga supervisi. Maka dari itu untuk melihat sejauh mana program pelatihan itu mencapai tujuannya perlu diperhatikan dalam evaluasi program pelatihan.

Pertama, melakukan tinjauan pada pra pelatihan dengan melihat hasil analisis kebutuhan pelatihan. Semua organisasi dengan departmen HR sebagai kepanjangan tangannya tentu sudah meramalkan kebutuhan pelatihan untuk masa yang akan datang. Perlu digarisbawahi pada aktivitas ini adalah pemutakhiran data baik internal maupun eksternal. Data internal seperti urgensi kebutuhan peningkatan keahlian tertentu dari masing-masing departmen mutlak dibutuhkan, karena pada intinya departmen terkaitlah yang tahu kebutuhan ini. Data eksternal seperti keadaan persaingan, kemajuan iptek, tuntutan konsumen menuntut pelaku usaha (lembaga) untuk senantiasa meningkatkan keterampilan karyawannya juga menjadi penentu, apakah memang dibutuhkan pelatihan atau tidak. Kombinasi dari dua data ini diharapkan dapat memberikan gambaran prioritas, pelatihan seperti apa dan untuk departmen apa sebenarnya program itu dibutuhkan.

Kedua, pada proses pelatihan itu sendiri. Pada kegiatan pelatihan ini baik pihak pengirim dan penyelenggara pelatihan harus mampu mensinergikan tujuan pelatihan dari masing-masing pihak. Hal ini bertujuan untuk mensinkronkan kebutuhan pelatihan dengan proses learning yang nantinya akan menjadi bekal peserta pelatihan kelak jika kembali ke organisasinya. Dengan hal ini diharapkan tidak ada materi yang under dan over delivery. Artinya, demi menekan efesiensi biaya (baca: uang, waktu, tenaga), pihak pengirim pelatihan harus mendapatkan keyakinan dari training provider akan cakupan materi pelatihan serta relevansinya di dunia kerja. Form feedback yang diberikan oleh penyedia jasa pelatihan di akhir sesi pelatihan bukan satu-satunya tolok ukur akan tepat sasaranya program pelatihan tersebut, tapi justru pada mental dan willingness dari peserta dalam mengikuti program pelatihan itu sendiri. Baik itu targeting lesson learned dari training provider maupun learning requirement dari pengirim pelatihan harus bertemu pada satu titik. Lebih lanjut apakah pelatihan tersebut diberikan dalam konteks on the job training atau off the job training tidak menjadi masalah. Pada kegiatan pra-pelatihanlah sebenarnya keputusan ini diambil. Tidak ada salah satu dari dua metode tersebut yang paling baik maupun yang jelek, kembali kepada analisis kebutuhan serta ketepatan dari program tersebut.

Ketiga, pada pasca pelatihan. Seusai pelatihan, tentunya organisasi berharap individu dapat meningkatkan kinerjanya sehingga akan mendongkrak pula kinerja organisasi. Jika kita mengharapkan hal ini tentunya tidak tepat, jika faktor lingkungan organisasi tidak terpenuhi. Lingkungan organisasi internal juga menjadi penentu apakah nantinya individu dapat mengaktualisasikan hasil learning yang mereka terima di site pelatihan. Apakah kondisi supervisi serta sejawat kerja sepadan dengan fresh learning yang didapatkan oleh individu? Apakah memang tuntutan organisasi saat ini mengharuskan individu untuk segera mengaktualisasikan hasil learning-nya? Jika semua ini memang sudah diproyeksikan di awal pra pelatihan tentunya akan berimbas pada ROI yang dianggarakan sebelum mengikuti pelatihan. Jika tidak tentu akan menjadi bumerang bagi departemen yang bersangkutan, karena diperolehnya under atau over learning yang tidak sesuai dengan kebutuhan departemen. Efek buruk seperti ”usang”-nya hasil belajar yang tidak digunakan akan menjadi senjata makan tuan bagi organisasi (efek psikososial).


Daftar Pustaka

Badan Diklat Propinsi Jawa Timur.
Monitoring dan Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan (Modul Management of Training). Badan Pendidikan dan Pelatihan Propinsi Jawa Timur, Surabaya, 2002.

Chung, KSD.
Jurus Jitu Evaluasi Pelatihan (http://www.portalhr.com/kolom/2id93.html), diakses 12 Desember 2008.

Irawanto, DW.
Paradigma Baru Evaluasi Efektivitas Pelatihan (http://www.portalhr.com/kolom/2id185.html), diakses 12 Desember 2008.

Kirkpatrick, DL.
Seven Keys to Unlock the Four Levels of Evaluations (http://www.scribd.com), diakses 12 Desember 2008.

Lembaga Administrasi Negara RI.
Metode Pengukuran dan Instrumen Penelitian (Bahan Ajar Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Tingkat Madya). Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta, 2003.

McGivern, MH and Bernthal, P.
Measuring Training Impact (http://www.scribd.com), diakses 12 Desember 2008.

Witoyo, B.
Training Evaluation Model (http://www.scribd.com), diakses 12 Desember 2008.

Rabu, 08 April 2009

Teknik Pengambilan Sampel Survei Cepat

Populasi dan Sampel

Populasi adalah kumpulan elemen/indvidu yang ingin diketahui karakteristiknya. Populasi dapat berupa kumpulan orang/individu atau barang, tetapi pada penelitian di bidang kesehatan masyarakat, populasi umumnya merupakan kumpulan individu/ orang. Sebagai contoh, populasi dapat berupa semua balita yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, semua ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas.

Sebelum satu survei dilakukan, peneliti harus menentukan dahulu secara pasti dan jelas populasi sasaran dari survei yang akan dilakukan. Definisi populasi harus mencakup siapa yang akan di survei, dan pengukuran apa yang akan dilakukan. Atas dasar pemahaman ini, populasi untuk pengkajian perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), adalah seluruh rumahtangga yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

Secara ideal, survei harus mencakup semua orang yang termasuk dalam populasi. Jika semua orang yang termasuk dalam populasi dapat diwawancarai, maka dapat diukur cakupan program kesehatan secara akurat. Tetapi melakukan wawancara pada semua orang yang termasuk dalam populasi sangat memakan waktu, biaya dan sumberdaya. Jadi perlu diambil contoh beberapa orang saja yang dapat mewakili semua orang yang ada di populasi. Contoh beberapa orang yang diambil dari satu populasi ini dinamakan sampel.

Orang/individu/rumahtangga yang diambil sebagai contoh harus dapat mewakili populasi. Agar kondisi ini bisa tercapai, maka setiap orang yang ada di populasi harus memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Jika sampel tidak mewakili populasi, akan diperoleh hasil yang bias, yaitu cakupan yang dihasilkan dari sampel berbeda dengan cakupan yang ada di populasi. Sebagai contoh, jika survei hanya mewawancarai ibu yang datang ke posyandu saja untuk menentukan cakupan imunisasi campak, maka cakupan yang dihasilkan cenderung lebih tinggi dari cakupan yang ada di populasi. Mengapa ?

Perbedaan antara cakupan yang sebenarnya di populasi dan cakupan yang diperoleh dari sampel disebut sebagai sampling error. Kesalahan ini selalu terjadi pada survei yang tidak mengikutsertakan seluruh populasi. Namun kesalahan ini dapat diperkecil dengan cara : memilih sampel secara tidak bias dan memilih sampel yang cukup besar. Memilih sampel secara tidak bias, harus didasarkan probabilitas. Sampel berdasarkan probabilitas akan memastikan semua orang yang ada di populasi memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Agar dapat memilih sampel secara probabilitas, harus dibuat terlebih dahulu kerangka sampel. Kerangka sampel adalah daftar semua unit (kabupaten, kecamatan, desa, rumahtangga, orang) yang ada dalam satu populasi sasaran. Di negara berkembang, seperti Indonesia akan sulit sekali untuk mendapatkan daftar penduduk atau rumahtangga secara lengkap, sehingga seringkali digunakan kerangka sampel dari unit yang lebih tinggi, seperti : desa atau kecamatan.

Jumlah sampel yang dibutuhkan pada satu survei tergantung dari tujuan survei tersebut. Survei dapat dilakukan untuk mengukur satu parameter tertentu pada populasi, seperti : cakupan imunisasi DPT-1, cakupan pemeriksaan antenatal, cakupan K-1, cakupan K/S, cakupan rumahtangga sehat, dan sebagainya. Survei juga dapat dilakukan untuk melihat hasil satu intervensi. Untuk tujuan ini survei dapat dilakukan sebelum dan sesudah intervensi atau di dua daerah yang dilakukan intervensi yang berbeda. Pada tujuan kedua ini, survei dilakukan untuk menguji satu hipotesis, apakah intervensi telah membawa dampak pada masyarakat. Dua tujuan survei tersebut memiliki cara yang berbeda untuk menghitung besar sampel yang diperlukan.

Pada survei cepat, umumnya tujuan survei dilakukan untuk melihat cakupan satu program. Ada formula khusus yang digunakan untuk menghitung jumlah sampel yang memadai pada survei cepat. Secara praktis dapat dikatakan bahwa jumlah sampel sebanyak 30 x 7 orang (30 kluster/desa, 7 orang tiap kluster/desa) sudah mencukupi untuk melihat cakupan kasus – kasus yang sering terjadi (proporsi kejadian 15% – 85%). Jadi saudara dapat selalu menggunakan jumlah sampel 210 orang (30 x 7 orang), kecuali untuk kasus yang jarang terjadi (seperti HIV/AIDS, Kusta, Tuberkulosis) dan untuk uji hipotesis.


Memilih Kluster

Prinsip yang harus dipatuhi dalam pengambilan sampel adalah semua individu/orang di populasi harus memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Syarat ini dapat dipenuhi dengan memilih sampel secara acak dari daftar semua orang di populasi. Cara seperti ini dikenal sebagai pemilihan sampel secara acak sederhana atau simple random sampling (SRS). Dalam prakteknya, cara pengambilan sampel acak sederhana ini sulit dilakukan. Misalnya, saudara ingin melakukan survei untuk mengetahui proporsi rumahtangga sehat, maka agar dapat memilih sampel secara acak sederhana, saudara harus memiliki daftar semua rumahtangga yang ada di populasi dalam hal ini kabupaten/kota. Daftar ini harus diberi nomor urut dan dipilih secara acak sederhana dengan bantuan tabel angka acak atau random number table. Paling tidak ada dua kesulitan utama, yaitu : (1) daftar subyek penelitian dalam hal ini rumahtangga umumnya tidak tersedia – membuat daftar seperti ini memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup lama, (2) sampel yang terpilih bisa saja sangat berjauhan – dapat terjadi saudara harus melakukan perjalanan ke satu desa yang jauh hanya untuk mewawancarai satu subyek survei. Adanya kesulitan penerapan teknik acak sederhana pada penelitian survei, WHO mengusulkan untuk negara berkembang menggunakan teknik sampel kluster dua tahap, yaitu : (1) pemilihan kluster, (2) pemilihan subjek survei (rumahtangga).

Agar pemilihan sampel dapat dilakukan secara adil, jumlah sampel pada tiap kluster harus sebanding dengan besar relatif kluster tersebut. Hal ini berarti pada tiap kluster yang terpilih saudara harus mewawancarai jumlah subyek yang berbeda. Cara ini tentu kurang praktis, sehingga dicari cara lain agar jumlah subyek yang dipilih pada tiap kluster dapat sama. Untuk keperluan ini harus dilakukan modifikasi cara pemilihan kluster pada tahap pertama. Pemilihan kluster harus menggunakan cara probabilitas yang proporsional dengan besar kluster atau probability proportionate to size (PPS). Cara PPS perlu dilakukan agar tiap subyek survei yang ada tetap memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Untuk keperluan praktis telah tersedia perangkat lunak CSurvey 2.0 guna membantu pemilihan kluster secara PPS (dapat di download gratis).

Survei Cepat (Rapid Survey)

Mengapa perlu Survei Cepat

Survei cepat pertama kali dipakai pada proyek Expanded Programme on Immunization dari WHO, untuk mengevaluasi keberhasilan program imunisasi. Survei cepat dirancang sederhana, murah dan cepat sehingga informasi yang dibutuhkan dapat dihasilkan secara akurat dan tepat waktu. Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan survei konvensional.

Kegiatan survei konvensional biasanya dilaksanakan dengan biaya tinggi, sampel besar dan prosedur yang cukup rumit. Teknik ini kurang memadai untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota, karena memerlukan waktu lama untuk pengolahan dan analisis data.

Mengingat keunggulan survei cepat ini, bagi para pengelola dan perencana program kesehatan di kabupaten/kota, metode survei cepat perlu dikuasai untuk menilai perkembangan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya pada setiap periode waktu tertentu (misalnya : per tahun, tiga tahun, lima tahun). Hasil survei cepat lebih tepat dipakai sebagai bahan evaluasi dan perencanaan, karena data yang diambil dari fakta yang terjadi dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata teknik survei ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi program kesehatan lain.

Kegiatan evaluasi program kesehatan tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan data rutin, karena beberapa alasan antara lain : (1) data rutin hanya mencatat kejadian orang yang meminta pelayanan kesehatan di pusat pelayanan kesehatan di suatu wilayah, (2) kualitas data rutin biasanya kurang baik dikarenakan pengisian formulir kurang lengkap, salah, dan tidak tepat waktu. Untuk mengatasi ini, perlu dicari sistem pengumpulan data lain yang non – rutin dan dapat menggambarkan keadaan kesehatan di masyarakat serta dapat digunakan sebagai penunjang sistem informasi yang sudah ada. Umumnya untuk pengumpulan data dari masyarakat digunakan survei. Pada tingkat kabupaten/ kota, teknik survei ini dilakukan modifikasi yang dikenal dengan survei cepat.


Ciri Survei Cepat

Perbedaan teknik survei konvensional dan survei cepat terletak pada kecepatan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari masyarakat. Secara garis besar ciri khas survei cepat adalah :

1. Dipergunakan untuk mengukur kejadian yang sering terjadi di masyarakat (proporsi kejadian 15% – 85 %).

2. Pengambilan sampel secara kluster dua tahap, dimana untuk tiap kabupaten/kota diambil sebanyak 30 kluster dan pada masing – masing kluster diambil sebanyak 7 responden.

3. Jumlah item pertanyaan dibatasi, sekitar 20 – 30 butir pertanyaan saja.

4. Rancangan sampel, pengambilan sampel, pemasukkan – pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan komputer.

5. Waktu sejak pelaksanaan sampai dengan pembuatan laporan singkat harus dapat diselesaikan sekitar 2 – 3 minggu.

6. Pengolahan dan analisis data hasil survei disajikan dengan memakai teknik statistik sederhana dan tetap memperhatikan kaidah statistik yang berlaku.


Tahapan Survei Cepat

Tahapan pelaksanaan survei cepat tidak berbeda dengan survei pada umumnya. Bagi para pengelola program kesehatan (tenaga promosi kesehatan), perlu memperhatikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan survei cepat, sebagai berikut :

1. Menentukan masalah kesehatan yang menjadi prioritas di kabupaten/kota, dan menentukan tujuan pelaksanaan survei secara jelas dan rinci. Pengelola program kesehatan di kabupaten/kota tentu mempunyai prioritas masalah yang akan ditanggulangi. Besarnya masalah seperti rendahnya pencapaian target satu program atau kendala yang ditemui dalam pelaksanaan kegiatan dapat diketahui dari laporan bulanan, pertemuan rutin atau melakukan kajian dari sumber – sumber informasi yang relevan. Dari penentuan masalah yang akan menjadi prioritas tersebut perlu di deskripsikan tujuan pelasanaan survei secara jelas dan rinci. Semakin rinci tujuan akan semakin mudah mengembangkan kuesioner survei cepat dan melakukan analisis data.

2. Menentukan besar dan teknik pengambilan sampel. Menentukan besar dan teknik pengambilan sampel harus memperhatikan prinsip “semua individu dalam satu populasi mempunyai peluang yang sama terpilih sebagai sampel”. Atas dasar pemahaman ini, perlu secara tegas ditentuan populasi sasaran sesuai tujuan pelaksanaan survei.

3. Mengembangkan alat pengumpul data. Alat pengumpul data pada survei cepat biasanya menggunakan kuesioner atau melakukan pengukuran dengan alat tertentu. Pada survei cepat pertanyaan dibatasi sekitar 20 – 30 pertanyaan saja. Oleh karena itu, pertanyaan harus dipilih untuk diarahkan menjawab tujuan dari survei ini.

4. Pengorganisasian dan pelaksanaan survei. Sebelum survei berlangsung perlu dilakukan standarisasi pengisian kuesioner antar pewawancara (petugas pengumpul data). Hal lainnya yang harus dipastikan bahwa pewawancara sudah mengerti benar tentang cara pemilihan responden (rumah tangga), pertanyaan yang ada pada kuesioner, dan teknik dasar wawancara. Pembagian tugas diantara pelaksana survei cepat harus jelas agar tidak terjadi keterlambatan dalam proses pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Ingat dalam survei cepat, waktu menjadi satu hal yang utama.

5. Analisis dan laporan. Data yang sudah terkumpul dalam waktu 1 – 2 hari harus sudah di entry ke dalam komputer. Jika fasilitas tersedia, akan lebih baik proses pemasukkan data dilakukan di lapangan dengan menggunakan notebook. Akurasi data harus diperhatikan dalam proses pemasukkan data ini. Analisis data hanya dapat dilakukan setelah peneliti yakin bahwa entry data sudah benar dan bebas dari kesalahan. Jika masih ada keraguan, dapat dilakukan pemeriksaan dan pembersihan data.

6. Pengembangan kegiatan program lanjutan. Implikasi dan rekomendasi dari hasil analisis data yang diberikan tidak selamanya dapat segera dilaksanakan. Untuk itu perlu dibuat rencana kegiatan lanjutan sebagai tahapan yang terpisah dan merupakan bagian dari tujuan survei.

Rencana tersebut tidak perlu rinci, namun harus meliputi :
(1) Apa bentuk kegiatan yang akan diambil (harus spesifik).
(2) Siapa yang bertanggung jawab untuk setiap kegiatan.
(3) Kapan waktu untuk memulai dan selesai.
(4) Dimana lokasi kegiatan akan dilaksanakan.
(5) Bagaimana prosedur yang akan diikuti.
(6) Sumberdaya yang ada dan yang mungkin diperlukan untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan.

Hal-hal tersebut di atas perlu diperhatikan agar prinsip “Informasi untuk Tindakan” dapat terlaksana. Jangan sampai laporan survei tersebut hanya tersimpan di filling cabinet tanpa digunakan untuk perencanaan program kesehatan. Sehubungan dengan itu maka rencana kegiatan lanjut perlu dibicarakan dengan seksama bersama pengelola program yang bersangkutan dan memperhatikan informasi lain yang ada di tingkat kabupaten/kota.


Rangkuman

Survei cepat merupakan salah satu cara pengumpulan data di masyarakat (population base), yang dirancang sederhana, murah dan cepat sehingga informasi yang dibutuhkan dapat dihasilkan secara akurat dan tepat waktu, dengan ciri sebagai berikut :
1. Dipergunakan untuk mengukur kejadian yang sering
2. Pengambilan sampel secara kluster dua tahap
3. Jumlah item pertanyaan dibatasi 20 – 30 butir
4. Teknik pengambilan sampel dan pengolahan/analisis data dilakukan dengan bantuan komputer.
5. Waktu pelaksanaan survei dibatasi sekitar 2 – 3 minggu.
6. Pengolahan dan analisis data hasil survei disajikan dengan memakai teknik statistik sederhana.

Selasa, 07 April 2009

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Pengertian

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. PHBS itu jumlahnya banyak sekali, bisa ratusan. Misalnya tentang gizi, yaitu : makan beraneka ragam makanan, minum tablet tambah darah, mengkonsumsi garam beryodium, memberi bayi dan balita kapsul vitamin A, dan lain-lain. Setiap rumahtangga dianjurkan untuk melaksanakan semua perilaku kesehatan.

PHBS di Rumahtangga
PHBS di rumahtangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumahtangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di rumahtangga dilakukan untuk mencapai rumahtangga sehat. Rumahtangga sehat adalah rumahtangga yang melakukan 10 PHBS di rumahtangga, yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberikan bayi ASI eksklusif
3. Menimbang bayi dan balita
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik di rumah
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah

Manfaat

PHBS di dalam masyarakat
· Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat
· Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan
· Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada
· Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat UKBM)
seperti : posyandu, tabulin, arisan jamban, ambulan desa, dll

PHBS di dalam rumahtangga
· Setiap anggota rumahtangga menjadi sehat dan tidak mudah sakit.
· Anak tumbuh sehat dan cerdas.
· Anggota rumahtangga giat bekerja.
· Pengeluaran biaya rumahtangga dapat dialihkan untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan
dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.

Indikator

Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
Ibu hamil sangat perlu memeriksakan kehamilannya secara teratur, paling sedikit 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan dapat dilakukan pada bidan atau dokter (tenaga kesehatan). Manfaat pemeriksaan ini untuk deteksi dini jika ditemukan gangguan kehamilan yang mungkin terjadi, sehingga dapat secara cepat dan tepat untuk ditanggulangi. Ketika tiba saat bersalin, sangat dianjurkan yang menolong persalinan adalah tenaga kesehatan, sepert : bidan, dokter. Ini untuk memastikan agar persalinan berlangsung aman dan terhindar dari risiko kematian.

Memberikan bayi ASI eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. ASI eksklusif adalah makanan terbaik yang harus diberikan kepada bayi, karena di dalamnya terkandung hampir semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Tidak ada yang bisa menggantikan ASI karena ASI didesain khusus untuk bayi, sedangkan susu sapi komposisinya sangat berbeda sehingga tidak bisa saling menggantikan.

Menimbang bayi dan balita
Salah satu tanda anak sehat adalah bertambah umur akan bertambah berat dan bertambah tinggi. Ini dapat diketahui ibu, jika tiap bulan anak balita secara teratur ditimbang di posyandu. Data berat badan anak akan di plot pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Anak yang sehat pertambahan berat badannya mengikuti pola warna (hijau) yang ada dalam KMS. Ibu harus waspada jika diketahui berat badan anak tidak naik (tetap) atau malah turun. Segera konsultasi ke kader posyandu atau petugas kesehatan.

Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
Biasakan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan atau sebelum menjamah makanan/minuman. Demikian pula, membiasakan mencuci tangan setelah membuang sampah/kotoran, menyapu, mengepel, memegang binatang, buang air besar/kecil, mengganti popok bayi, membuang ingus, bersin, dan lain-lain. Tujuannya untuk mencegah kontaminasi silang dan menghindari risiko penyakit, misalnya : diare.

Makan sayur dan buah setiap hari
Membiasakan makan yang teratur – seimbang – beragam sangat baik untuk kesehatan, khususnya saluran pencernaan. Terlebih lagi untuk sayur dan buah. Sebaiknya dalam sehari dapat mengkonsumsi 3 porsi sayur dan 2 porsi buah atau sebaliknya.

Melakukan aktivitas fisik setiap hari
Kejadian beberapa penyakit kronik berhubungan erat dengan gaya hidup yang tidak aktif (sedentari atau bemalas-malasan). Untuk menguragi risiko penyakit ini : berusaha mempunyai gaya hidup yang aktif, olahraga secara teratur, membiasakan diri dengan ativitas sedang (bekerja dengan tenaga atau berkeringat), dan tidak bermalas-malasan.

Tidak merokok di dalam rumah
Merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain : kanker paru, gangguan pertumbuhan janin, dll. Asap rokok mengandung bahan yang berbahaya dan dapat mencemari lingkungan sekitar juga bagi orang-orang yang menghirup secara pasif. Bayi, anak balita, dan ibu hamil sangat rentan terhadap cemaran asap rokok. Oleh karena itu, merokok di luar rumah atau di tempat terbuka lebih rendah risikonya mencemari orang lain.

Memberantas jentik di rumah
Memberantas jentik dapat dilakukan dengan membiasakan diri secara teratur menguras bak mandi (tiap minggu), menutup tempat penampungan air, mengubur barang-baang bekas. Kegiatan ini bertujuan untuk memotong siklus kehidupan dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue yang dapat menyebabkan penyakit deman berdarah.

Menggunakan air bersih
Ada tiga persyaratan air bersih, yaitu : tidak berwarna, tidak berbau dan berasa, memenuhi persyaratan mikrobiologis. Untuk mendapatkan air yang mendekati persyaratan ini, gunakan air ledeng (PDAM), air pompa, sumur terlindung, mata air, penampungan air hujan yang berjarak minimal 10 m dari penampungan kotoran atau limbah. Jika air tersebut untuk keperluan minum atau memasak, pastikan air telah mendidih sekitar 5 menit. Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis.

Menggunakan jamban sehat
Menggunakan jamban sehat dapat menekan kejadian diare. Pencegahan penyakit diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui air hanya dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih, penggunaan jamban sehat pembuangan limbah cair dan padat rumahtangga serta peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menjamah makanan serta menyimpan makanan dalam keadaan tertutup.